Sunday, January 16, 2022

#Waspada krisis

 Perubahan iklim telah sering kita dengar dari berbagai media massa cetak dan online serta media sosial namun sepertinya belum menjadi agenda yang dianggap penting bagi sebagaian masyarakat. Issue perubahan iklim masih merupakan issue elit dunia. Meskipun disadari oleh sebagian masyarakat dunia bahwa berbagai peristiwa yang terjadi dalam keseharian mereka banyak terkait dengan perubahan iklim dengan berbagai variasinya namun langkah-langkah untuk memerangi masalah ini masih terasa mengawang awang. Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini mungkin sudah banyak yang tahu khususnya warga perkotaan karena bisa diperoleh informasinya dari gadget yang ada. Tiga hal yang harus diketahui dan akan sangat mungkin mengalami perubahan dan rentan terhadap gangguan di masa kini dan mendatang adalah persoalan air, energi dan pangan.

Berbagai bencana yang terjadi di berbagai belahan bumi termasuk di dalamnya Indonesia sering dianggap diakibatkan oleh perubahan iklim. Bencana hidrometeorologi sebagai bagian dari bencana alam misalnya puting beliung, badai tropis, siklon tropis, banjir, banjir bandang, kekeringan serta tanah longsor yang dipicu oleh hujan deras sering membawa korban harta dan jiwa. Semuanya itu bisa disaksikan dari berbagai sumber berita di masa lalu sampai dengan akhir-akhir ini. Info-info tentang bencana alam tiap hari menghiasi media massa dan media sosial. Tentu semua orang tidak ingin mengalaminya namun sangat sedikit dari masyarakat yang turut terlibat pada upaya penyelamatan lingkungan dan tindakan preventif lainnya. Baru ketika bencana alam terjadi, masyarakat tergopoh gopoh dalam melakukan tindakan kuratif.

Banjir seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir ini baik yang terjadi di pulau Jawa ataupun luar Jawa dimana air masih belum surut selama beberapa minggu misalnya di Sintang Kalimantan Barat beberapa waktu yang lalu merupakan bukti nyata pengaruh perubahan iklim tersebut. Peningkatan curah hujan sampai lebih dari 120 milimeter per hari akan menyebabkan tanah tidak sempat untuk meresapkan air dalam jumlah besar. Hujan yang deras tersebut akan memicu terbentuknya aliran air di permukaan tanah (runoff) yang kemudian masuk ke dalam aliran sungai. Celakanya saluran drainase tidak berjalan dengan baik dan daya tampung sungai tidak sepadan dengan aliran air yang masuk. Yang disebut terakhir ini diperparah oleh erosi di hulu sungai serta kebiasaan masyarakat membuang segala macam sampah ke dalam sungai. Terjadinya banjir lahar dingin di lereng gunung Semeru Jawa Timur akibat hujan deras di puncak dan lereng tampaknya juga dipengaruhi oleh perubahan iklim ini. Dalam hal ini yang dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah faktor curah hujannya.  Aktivitas manusia yang menyumbang lebih dari 95% perubahan iklim akan bisa dikurangi bila kesadaran masyarakat terhadap lingkungan meningkat. Langkah-langkah kecil sampai besar pada berbagai skala ruang dan waktu sudah harus makin ditanamkan sejak kecil/usia dini. Bidang pendidikan menjadi kunci yang baik dan jitu untuk upaya peningkatan kesadaran tersebut misal melalui para guru dan murid.

Tanah longsor yang juga biasa terjadi menyusul banjir pada saat musim hujan (monsoon Asia) yang diperparah oleh kejadian La Nina di samudra Pasifik dan Dipole Mode negatif di samudra Hindia sebenarnya bisa juga dikurangi kejadiannya. Sejumlah langkah bisa dilakukan misal salah satunya adalah memperkuat struktur tanah dengan melakukan penanaman pohon. Lereng-lereng bukit dan gunung sebaiknya juga dikuatkan dengan menanam pepohonan yang berakar tunjang seperti misalnya pohon pinus, jati, dan berbagai jenis pohon hortikultura. Ini agar selain batang dan rantingnya bisa dimanfaatkan untuk diambil kayunya, juga bisa meningkatkan ketahanan gizi masyarakat. Sempadan sungai juga harus diperkuat dan ceruk atau waduk dan bendungan yang ada pada wilayah lebih atas dari sungai/perbukitan/gunung juga dirawat agar tidak timbul banjir bandang.

Pada saat ini terjadi La Nina yang diprakirakan dalam taraf sedang oleh NMME sehingga untuk wilayah Indonesia menyebabkan masa musim hujan maju dan berlangsung lebih lama. Hal inipun harus diantisipasi melalui manajemen air sehingga air yang berlebih di musim hujan bisa disimpan mengisi air tanah atau waduk dan musim kemarau tidak sampai kekeringan. Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah, misalnya membangun waduk merupakan langkah maju dalam mengamankan ketersediaan air untuk berbagai tujuan.

Ketersediaan airpun bisa menjadi energi yang baik jika dimanfaatkan mulai dari menjadi energi listrik mikrohidro sampai PLTA (pembangkit listrik tenaga air) skala besar. Ketahanan energi bisa dilakukan melalui cara itu dan mengembangkan energi baru terbarukan seperti energi surya dan angin. Kita seharusnya bersyukur dengan keberadaan wilayah kita yang dekat dengan ekuator sehingga panjang hari sekitar 10-12 jam sepanjang tahun. Panjang hari adalah waktu dari mulai terbit sampai terbenamnya matahari. Ini menyebabkan energi surya dapat dengan mudah kita peroleh sepanjang tahun. Sayangnya untuk menginstall sampai bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas masih butuh revolusionerisasi teknologi. Untuk saat sekarang masih butuh biaya tinggi dimana hanya kalangan tertentu saja yang bisa/mau berinvestasi untuk mendapatkan energi bebas ini. Bisa dibayangkan bagaimana suatu saat nanti jauh lebih banyak orang yang menikmati energi gratis ini dibanding dengan yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air seperti kondisi saat ini. Jika batterai penyimpan daya energi matahari bisa mempunyai kapasitas yang besar maka inipun akan menjadikan ketahanan energi  makin dahsyat. Sebenarnya hal inipun kita mampu melakukannya bila didukung oleh regulasi yang tepat sehingga investasi pikiran, tenaga dan teknologi tinggi modal murah tidak tersia-sia dan tersalip oleh sumber daya manusia negara lain.

Energi bisa juga dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya pertanian. Mekanisasi pertanian sejauh ini belum menjangkau dan merata di pelosok pedesaan. Smart farming masih serasa mengawang-awang bagi petani tradisional yang jumlahnya amat sangat jauh lebih banyak daripada petani berdasi atau yang sudah melek (sadar) teknologi. Penggunaan infrastruktur pertanian yang berbasis IoT (internet of things) masih terasa sebagai teknologi milik kalangan milenial/muda. Transformasi pengetahuan dan teknologi dalam smart farming ini harus dilakukan mulai sekarang mengingat jumlah petani Indonesia dari tahun ke tahun makin berkurang dan didominasi oleh mereka-mereka yang berusia 47 tahun ke atas. Ini bisa menjadi ancaman yang serius pada masalah ketahanan pangan di tanah air. Ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian harus dilakukan bila tidak ingin negara kita ini terguncang akibat ketahanan pangan menurun.

Kualitas SDM akan meningkat, demikian pula dengan harapan hidupnya bila masalah pangan dan gizi bisa diperbaiki. Semoga dengan perhatian pemerintah, dunia usaha, komunitas, perguruan tinggi dan media massa makin meningkat pada ketahanan air, energi dan pangan maka akan menjadikan negara kita tercinta ini maju dan menjadi superpower dunia. Bila hal tersebut bisa dipercepat maka pengaruh perubahan iklim pada kehidupan masyarakat Indonesia akan bisa diminimalisir, apalagi bila dilakukan secara gotong royong dan bersama sama dengan negara-negara lain di seluruh dunia.