Perubahan iklim telah sering kita dengar dari berbagai media massa cetak dan online serta media sosial namun sepertinya belum menjadi agenda yang dianggap penting bagi sebagaian masyarakat. Issue perubahan iklim masih merupakan issue elit dunia. Meskipun disadari oleh sebagian masyarakat dunia bahwa berbagai peristiwa yang terjadi dalam keseharian mereka banyak terkait dengan perubahan iklim dengan berbagai variasinya namun langkah-langkah untuk memerangi masalah ini masih terasa mengawang awang. Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini mungkin sudah banyak yang tahu khususnya warga perkotaan karena bisa diperoleh informasinya dari gadget yang ada. Tiga hal yang harus diketahui dan akan sangat mungkin mengalami perubahan dan rentan terhadap gangguan di masa kini dan mendatang adalah persoalan air, energi dan pangan.
Berbagai bencana yang terjadi di berbagai belahan bumi
termasuk di dalamnya Indonesia sering dianggap diakibatkan oleh perubahan
iklim. Bencana hidrometeorologi sebagai bagian dari bencana alam misalnya
puting beliung, badai tropis, siklon tropis, banjir, banjir bandang, kekeringan
serta tanah longsor yang dipicu oleh hujan deras sering membawa korban harta
dan jiwa. Semuanya itu bisa disaksikan dari berbagai sumber berita di masa lalu
sampai dengan akhir-akhir ini. Info-info tentang bencana alam tiap hari
menghiasi media massa dan media sosial. Tentu semua orang tidak ingin
mengalaminya namun sangat sedikit dari masyarakat yang turut terlibat pada
upaya penyelamatan lingkungan dan tindakan preventif lainnya. Baru ketika
bencana alam terjadi, masyarakat tergopoh gopoh dalam melakukan tindakan
kuratif.
Banjir seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir ini baik
yang terjadi di pulau Jawa ataupun luar Jawa dimana air masih belum surut
selama beberapa minggu misalnya di Sintang Kalimantan Barat beberapa waktu yang
lalu merupakan bukti nyata pengaruh perubahan iklim tersebut. Peningkatan curah
hujan sampai lebih dari 120 milimeter per hari akan menyebabkan tanah tidak
sempat untuk meresapkan air dalam jumlah besar. Hujan yang deras tersebut akan
memicu terbentuknya aliran air di permukaan tanah (runoff) yang kemudian masuk
ke dalam aliran sungai. Celakanya saluran drainase tidak berjalan dengan baik
dan daya tampung sungai tidak sepadan dengan aliran air yang masuk. Yang
disebut terakhir ini diperparah oleh erosi di hulu sungai serta kebiasaan
masyarakat membuang segala macam sampah ke dalam sungai. Terjadinya banjir
lahar dingin di lereng gunung Semeru Jawa Timur akibat hujan deras di puncak
dan lereng tampaknya juga dipengaruhi oleh perubahan iklim ini. Dalam hal ini
yang dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah faktor curah hujannya. Aktivitas manusia yang menyumbang lebih dari
95% perubahan iklim akan bisa dikurangi bila kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
meningkat. Langkah-langkah kecil sampai besar pada berbagai skala ruang dan
waktu sudah harus makin ditanamkan sejak kecil/usia dini. Bidang pendidikan
menjadi kunci yang baik dan jitu untuk upaya peningkatan kesadaran tersebut
misal melalui para guru dan murid.
Tanah longsor yang juga biasa terjadi menyusul banjir pada
saat musim hujan (monsoon Asia) yang diperparah oleh kejadian La Nina di
samudra Pasifik dan Dipole Mode negatif di samudra Hindia sebenarnya bisa juga
dikurangi kejadiannya. Sejumlah langkah bisa dilakukan misal salah satunya
adalah memperkuat struktur tanah dengan melakukan penanaman pohon.
Lereng-lereng bukit dan gunung sebaiknya juga dikuatkan dengan menanam
pepohonan yang berakar tunjang seperti misalnya pohon pinus, jati, dan berbagai
jenis pohon hortikultura. Ini agar selain batang dan rantingnya bisa
dimanfaatkan untuk diambil kayunya, juga bisa meningkatkan ketahanan gizi
masyarakat. Sempadan sungai juga harus diperkuat dan ceruk atau waduk dan
bendungan yang ada pada wilayah lebih atas dari sungai/perbukitan/gunung juga
dirawat agar tidak timbul banjir bandang.
Pada saat ini terjadi La Nina yang diprakirakan dalam taraf
sedang oleh NMME sehingga untuk wilayah Indonesia menyebabkan masa musim hujan
maju dan berlangsung lebih lama. Hal inipun harus diantisipasi melalui
manajemen air sehingga air yang berlebih di musim hujan bisa disimpan mengisi
air tanah atau waduk dan musim kemarau tidak sampai kekeringan. Langkah-langkah
yang ditempuh pemerintah, misalnya membangun waduk merupakan langkah maju dalam
mengamankan ketersediaan air untuk berbagai tujuan.
Ketersediaan airpun bisa menjadi energi yang baik jika
dimanfaatkan mulai dari menjadi energi listrik mikrohidro sampai PLTA
(pembangkit listrik tenaga air) skala besar. Ketahanan energi bisa dilakukan
melalui cara itu dan mengembangkan energi baru terbarukan seperti energi surya
dan angin. Kita seharusnya bersyukur dengan keberadaan wilayah kita yang dekat
dengan ekuator sehingga panjang hari sekitar 10-12 jam sepanjang tahun. Panjang
hari adalah waktu dari mulai terbit sampai terbenamnya matahari. Ini
menyebabkan energi surya dapat dengan mudah kita peroleh sepanjang tahun.
Sayangnya untuk menginstall sampai bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas masih
butuh revolusionerisasi teknologi. Untuk saat sekarang masih butuh biaya tinggi
dimana hanya kalangan tertentu saja yang bisa/mau berinvestasi untuk
mendapatkan energi bebas ini. Bisa dibayangkan bagaimana suatu saat nanti jauh
lebih banyak orang yang menikmati energi gratis ini dibanding dengan yang
memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air seperti kondisi saat ini. Jika
batterai penyimpan daya energi matahari bisa mempunyai kapasitas yang besar
maka inipun akan menjadikan ketahanan energi
makin dahsyat. Sebenarnya hal inipun kita mampu melakukannya bila
didukung oleh regulasi yang tepat sehingga investasi pikiran, tenaga dan
teknologi tinggi modal murah tidak tersia-sia dan tersalip oleh sumber daya
manusia negara lain.
Energi bisa juga dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya
pertanian. Mekanisasi pertanian sejauh ini belum menjangkau dan merata di
pelosok pedesaan. Smart farming masih serasa mengawang-awang bagi petani
tradisional yang jumlahnya amat sangat jauh lebih banyak daripada petani
berdasi atau yang sudah melek (sadar) teknologi. Penggunaan infrastruktur pertanian
yang berbasis IoT (internet of things) masih terasa sebagai teknologi milik
kalangan milenial/muda. Transformasi pengetahuan dan teknologi dalam smart
farming ini harus dilakukan mulai sekarang mengingat jumlah petani Indonesia
dari tahun ke tahun makin berkurang dan didominasi oleh mereka-mereka yang
berusia 47 tahun ke atas. Ini bisa menjadi ancaman yang serius pada masalah
ketahanan pangan di tanah air. Ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian harus
dilakukan bila tidak ingin negara kita ini terguncang akibat ketahanan pangan
menurun.